Jumat, 03 Januari 2020

MMR (Metode Maternal Reflektif)


KONSEP DASAR METODE MATERNAL REFLEKTIF (MMR)

Filosofis Pembelajaran pada Anak Tunarungu
Kehilangan pendengaran bagi seseorang membawa dampak yang sangat besar, terlebih kehilangan pendengaran tersebut terjadinya sejak lahir. Mereka yang mengalami kehilangan pendengaran sejak lahir tidak mengalami pemerolehan bahasa, tidak mengenal lambang bahasa dan tidak mampu berkomunikasi dengan verbal. Kondisi ini dialami oleh anak tunarungu. Namun demikian bukan berarti anak tunarungu tidak berhak memperoleh pengalaman mengikuti pembelajaran pengembangan bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tertulis.

Seharusnya pembelajaran bagi peserta didik tunarungu harus memberikan peluang yang sama dengan peserta didik mendengar dalam mengembangkan kemampuan berbahasa. Pengembangan kemampuan berbahasa pada peserta didik tunarungu secara dasar harus mengikuti pola pengembangan berbahasa pada individu mendengar, hanya dalam implementasinya harus menyesuaikan dengan dampak dari ketidak berfungsian indera pendengarannya. Dengan demikian, bahwa orientasi pembelajaran pengembangan kemampuan  berbahasa pada peserta didik tunarungu harus memberikan akses ke arah pengembangan kemampuan bercakap-cakap, meskipun dalam tekniknya memerlukan modifikasi dalam meode, alat dan bahan serta waktu. 
Ciri-ciri pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method adalah sebagai berikut:   
a.        Melaksanakan percakapan yang sewajarnya 
b.       Metode tangkap, tanggap, peran ganda 
c.        Ungkapan anak seritmis mungkin 
d.      Mengikuti cara-cara anak mendengar menguasai bahasa ibu. Bertitik tolak pada 
      minat & kebutuhan komunikasi anak 
e.       Menyajikan bahasa sewajar mungkin baik reseptif maupun ekspresif 
f.        Menuntun anak agar secara bertahap dapat menemukan sendiri aturan atau bentuk
      Bahasa melalui refleksi terhadap segala pengalaman berbahasa 
Mengapa harus dengan percakapan? karena percakapan pada prinsipnya terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih dengan situasi yang rileks dan wajar tanpa dibuat-buat serta berlangsung secara spontan. Melalui percakapan diharapkan tunarungu dapat  memiliki sikap spontan, memiliki sikap respontif, memiliki sikap empati, dan terampil berkomunikasi. 
Jadi dapat disimpulkan bahwa Maternal Reflection Method merupakan metode pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu yang menirukan cara seorang ibu mengajarkan bahasa kepada anaknya yang belum berbahasa sampai anak mampu berbahasa dengan merefleksikan bahasa yang dimiliki melalui kegiatan percakapan. Contohnya: suara ocehan anak “maemm” Ibu menangkap dan membahasakan maksud anak “Oh.. dede mau makan? Dede mau makan apa? Oh dede mau makan roti ya?”. Berdasarkan contoh tersebut terlihat bahwa ibu menangkap maksud anak dan merefleksikan berulang-ulang bahasa yang diungkapkan oleh anak.

Pengertian Metode Maternal Reflektif
Banyak ahli yang berpendapat bahwa pembelajaran bagi anak tunarungu difokuskan pada upaya membantu mengatasi hambatan wicaranya dengan cara mengajarkan keterampilan berbicara  dengan tehnik yang sama dilakukan pada anak mendengar. Selain itu, Ada beberapa tehnik atau cara khusus untuk mengatasi hambatan yang ada dalam proses penguasaan bahasa seperti artikulasi dan sebagainya. Dari pandangan ini maka Metode pembelajaran yang gramatikal atau konstruktif pun muncul  (Murni Winarssih; 2018:25). Ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa pembelajaran bahasa sedapat mungkin menggunakan pendekatan seperti proses penguasaan bahasa pada anak yang mendengar dengan menciptakan situasi yang hangat yang sedang dialami anak. Karena pendekatannya bersifat situasional atau natural maka metode pembelajaran ini dikenal dengan Metode Natural. Kedua metode di atas memiliki kekuatan dan kelemahan yang selanjutnya disempurnakan oleh Maternal Reflection Method  (MRM). 
Maternal Reflection Method (MRM) adalah metode yang tetap mempertahankan proses penguasaan bahasa seperti pada anak mendengar seperti yang dilakukan Metode Natural namun tidak melupakan unsur gramatikal pada Metode Konstruktif.  
Secara alamiah, naluri seorang ibu akan terus mengamati bayinya dan akan mengikuti apa yang diamati atau yang menjadi perhatian bayi tersebut. Dengan sendirinya si ibu mengasumsikan adanya maksud/intensi tertentu pada bayinya dan akan membahasakan apa yang dimaksud bayinya itu. Situasi saling mengamati terhadap suatu benda oleh ibu dan bayi ini membentuk triangle reference sebagai acuan komunikasi. Respon bayi berupa senyuman, tertawa atau gerakan-gerakan tertentu menjadi motivasi bagi ibu untuk melanjutkan interaksi tersebut yang pada akhirnya terjalin suatu komunikasi pra-bahasa yang berkesinambungan (Bruner dalam Bunawan dan Yuwati, 2000).   
Dasar pemikiran seperti dikemukakan di atas melandasi pemikiran Uden (1977) yang mencetuskan Maternal Reflection Method dan istilah yang kita kenal di Indonesia adalah metode marital refleksi. 
Hal ini dikarenakan situasi dimana seorang bayi yang divonis menyandang ketunarunguan kemudian sang ibu bayi tidak dapat menciptakan situasi intersubyektifitas atau triangle reference dan berhenti mengajaknya bercakap. Kondisi tersebut justru semakin menghambat proses perkembangan bahasa anak, karena percakapan merupakan kunci perkembangan bahasa anak tunarungu (Hollingshead, 1982 dalam Bunawan dan Yuwati, 2000). Seorang anak Tunarungu dapat memperoleh bahasa jika seorang ibu secara naluriah/alami/natural dan informal menggunakan bahasanya untuk memuaskan kebutuhan psikologis anak. Metode inilah yang disebut Maternal Reflection Method (Tim Guru Pangludi Luhur, 2013:6). 
Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method (MRM) terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan. 

Tujuan Metode Maternal Reflektif
Penggunaan metode maternal reflektif bertujuan untuk mengoptimalkan perkembangan bahasa pada anak tunarungu melalui optimalisasi percakapan.
Secara rinci, penggunakan metode maternal refelektif adalah sebagai berikut: 
1.   Agar anak tunarungu dapat semakin bersikap oral 
2.   Agar anak tunarungu dapat dan suka mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan 
    curahan hati 
3.   Agar anak tunarungu dapat dan suka membaca sendiri 
4.  Agar anak tunarungu dapat berkomunikasi dengan teman sebayanya yang 
    berpendengarannya normal
Perkembangan penguasaan bahasa dan kemampuan berbahasa anak tunarungu yang menggunakan MMR bersumbu pada percakapan. Setiap hari kita sering berbicara satu sama lain, begitu pula dengan mereka. Yang terpenting adalah percakapan dimulai dengan seorang anak, kita menangkap maksud atau pernyataan anak tersebut, lalu menafsirkan pernyataan dengan cara bertanya. Apabila ada anak salah mengucapkan fonem dan kalimat, kita berusaha membetulkannya. Usahakan kita sering bertanya, mengundang, mangajak, menentang, bahkan berdebat untuk menimbulkan reaksi spontan dari anak ini sehingga percakapan ada lanjutannya. Percakapan ini akan menghasilkan anak tersebut dapat bersikap oral dengan lancar, artikulasinya jelas, dan berani bergaul, serta mencapai kemampuan berbahasa yang maksimal.
Perlu diingat motto metode maternal reflektif adalah “apa yang ingin kau katakan, katakanlah”.

Prinsip-prinsip Metode Maternal Reflektif
Van Uden menyebutkan jika perkembangan dari metode MMR memiliki atau mencakup beberapa prinsip antara lain:
1.  Percakapan yang digunakan dalam metode ini adalah percakapan sewajarnya. 
    Segala bentuk bahasa yang digunakan dalam percakapan ini bisa memergunakan 
    kalimat seru, berita, tanya, ungkapan sehari-hari, ungkapan perasaan dan 
    lain sebagainya.
2.   Hendaknya melatih anak mengucapkannya “seritmis” untuk membantu ingatan 
    anak khususnya pemahaman mereka akan “struktur face”
3.   Seorang anak tunarungu memiliki kekurangan dalam hal ingatan sehingga 
     pelajaranseperti membaca dan menulis tidak boleh diabaikan. Usahakan untuk 
     memulainya dari usia 3 tahun. 
4.   Perbanyak latihan membaca dan percakapan sebagai pelajaran untuk refleksi 
     bahasa.
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama sekolah yang menggunakan Maternal Reflection Method, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan.
Prinsip-prinsip dari Maternal Reflection Method ini adalah: 
1.    Percakapan harus terjadi sedini mungkin, sebelum anak berbahasa sepatah katapun. 
2.      Lingkungan yang mengajak bercakap (kapan saja, dimana saja, tentang apa saja). 
3.      Percakapan bertolak dari pengalaman bersama (ibu/orangtua. guru, teman).
4.      Percakapan dengan Motto “apa yang ingin kau katakan, katakalah begini…” 
5.      Percakapan berlangsung dengan Metode Tangkap dan Peran Ganda.  

Tahapan Metode Maternal Reflektif (MMR)
Banyak ahli yang berpendapat bahwa pembelajaran bagi anak tunarungu difokuskan pada upaya membantu mengatasi hambatan wicaranya dengan cara mengajarkan keterampilan berbicara  dengan tehnik yang sama dilakukan pada anak mendengar. Selain itu, Ada beberapa tehnik atau cara khusus untuk mengatasi hambatan yang ada dalam proses penguasaan bahasa seperti artikulasi dan sebagainya. Dari pandangan ini maka Metode pembelajaran yang gramatikal atau konstruktif pun muncul  (Murni Winarssih; 2018:25). 
Ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa pembelajaran bahasa sedapat mungkin menggunakan pendekatan seperti proses penguasaan bahasa pada anak yang mendengar dengan menciptakan situasi yang hangat yang sedang dialami anak. Karena pendekatannya bersifat situasional atau natural maka metode pembelajaran ini dikenal dengan Metode Natural. Kedua metode di atas memiliki kekuatan dan kelemahan yang selanjutnya disempurnakan oleh Maternal Reflection Method  (MRM).
Maternal Reflection Method (MRM) adalah metode yang tetap mempertahankan proses penguasaan bahasa seperti pada anak mendengar seperti yang dilakukan Metode Natural namun tidak melupakan unsur gramatikal pada Metode Konstruktif.  
Secara alamiah, naluri seorang ibu akan terus mengamati bayinya dan akan mengikuti apa yang diamati atau yang menjadi perhatian bayi tersebut. Dengan sendirinya si ibu mengasumsikan adanya maksud/intensi tertentu pada bayinya dan akan membahasakan apa yang dimaksud bayinya itu. Situasi saling mengamati terhadap suatu benda oleh ibu dan bayi ini membentuk triangle reference sebagai acuan komuniaksi. Respon bayi berupa senyuman, tertawa atau gerakan-gerakan tertentu menjadi motivasi bagi ibu untuk melanjutkan interaksi tersebut yang pada akhirnya terjalin suatu komunikasi pra-bahasa yang berkesinambungan (Bruner dalam Bunawan dan Yuwati, 2000).   
Dasar pemikiran seperti dikemukakan di atas melandasi pemikiran Uden (1977) yang mencetuskan Maternal Reflection Method dan istilah yang kita kenal di Indonesia adalah metode marital refleksi. 
Hal ini dikarenakan situasi dimana seorang bayi yang divonis menyandang ketunarunguan kemudian sang ibu bayi tidak dapat menciptakan situasi intersubyektifitas atau triangle reference dan berhenti mengajaknya bercakap. Kondisi tersebut justru semakin menghambat proses perkembangan bahasa anak, karena percakapan merupakan kunci perkembangan bahasa anak tunarungu (Hollingshead, 1982 dalam Bunawan dan Yuwati, 2000). Seorang anak Tunarungu dapat memperoleh bahasa jika seorang ibu secara naluriah/alami/natural dan informal menggunakan bahasanya untuk memuaskan kebutuhan psikologis anak. Metode inilah yang disebut Maternal Reflection Method (Tim Guru Pangludi Luhur, 2013:6). 
Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method (MRM) terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan. 
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama sekolah yang menggunakan Maternal Reflection Method, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Prinsip-prinsip dari Maternal Reflection Method ini adalah: 
1.     Percakapan harus terjadi sedini mungkin, sebelum anak berbahasa sepatah katapun. 
2.       Lingkungan yang mengajak bercakap (kapan saja, dimana saja, tentang apa saja). 
3.       Percakapan bertolak dari pengalaman bersama (ibu/orangtua. guru, teman).
4.       Percakapan dengan Motto “apa yang ingin kau katakan, katakalah begini…” 
5.       Percakapan berlangsung dengan Metode Tangkap dan Peran Ganda.  
Ciri-ciri pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method adalah sebagai berikut:   
1.       Melaksanakan percakapan yang sewajarnya 
2.       Metode tangkap, tanggap, peran ganda 
3.       Ungkapan anak seritmis mungkin 
4.      Mengikuti cara-cara anak mendengar menguasai bahasa ibu 5) Bertitik tolak pada 
      minat & kebutuhan komunikasi anak 
5.      Menyajikan bahasa sewajar mungkin baik reseptif maupun ekspresif 
6.     Menuntun anak agar secara bertahap dapat menemukan sendiri aturan atau bentuk 
      Bahasa melalui refleksi terhadap segala pengalaman berbahasa 
Mengapa harus dengan percakapan? karena percakapan pada prinsipnya terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih dengan situasi yang rileks dan wajar tanpa dibuat-buat serta berlangsung secara spontan. Melalui percakapan diharapkan tunarungu dapat  memiliki sikap spontan, memiliki sikap respontif, memiliki sikap empati, dan terampil berkomunikasi. 
Jadi dapat disimpulkan bahwa Maternal Reflection Method merupakan metode pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu yang menirukan cara seorang ibu mengajarkan bahasa kepada anaknya yang belum berbahasa sampai anak mampu berbahasa dengan merefleksikan bahasa yang dimiliki melalui kegiatan percakapan. Contohnya: suara ocehan anak “maemm” Ibu menangkap dan membahasakan maksud anak “Oh.. dede mau makan? Dede mau makan apa? Oh dede mau makan roti ya?”. Berdasarkan contoh tersebut terlihat bahwa ibu menangkap maksud anak dan merefleksikan berulang-ulang bahasa yang diungkapkan oleh anak. Proses kegiatan  MRM dibagi menjadi 3 yaitu percakapan dari hati ke hati (Perdati), percakapan membaca ideovisual (Percami), dan Percakapan Linguistik (Percali).

Tahapan Maternal Reflective Method (MMR)
a.       Percakapan dari hati ke hati (PERDATI)
Percakapan dari hati ke hati (Perdati) Makna dari percakapan dari hati ke hati ini adalah percakapan yang berlangsung secara spontan, dalam suasana santai, rileks dan terjadi intersubyektifitas (dua hati memikirkan obyek yang sama). Percakapan ini bertujuan: 
1.   memperoleh dan menguasai bahasa percakapan sehari-hari 
2.   mampu menggunakan perbendaharaan kata secara kontekstual 
3.   mampu berkomunikasi secara oral dan grafis 
4.   terampil berkomunikasi secara lisan dan tulis 
5.   mampu mempelajari dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan 

Proses Perdati. (Sumber : http://slb-bpawestri.blogspot.com)

b.       Percakapan membaca Ideovisual (PERCAMI)
Percakapan membaca ideovisual (Percami), adalah berasal dari kata idea yang artinya ide, gagasan, pikiran sedangkan visual artinya ditangkap melalui pengelihatan. Jadi secara bahasa ideovisual dapat diartikan membaca gagasan, pikiran atau ide sendiri yang ditangkap secara visual.  
Menurut Bunawan dan Yuwati (2000: 133), mengungkapkan bahwa membaca ideovisual adalah membaca pikiran atau gagasan atau ide sendiri yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau grafis sehingga dapat di tangkap secara visual. 
Kegiatan membaca ideovisual belum ada tuntutan pada peserta didik untuk dapat membaca huruf atau kata atau kalimat, tetapi hanya dituntut agar dapat memahami isi tulisan secara global intuitif (keseluruhan makna). Karena di dalam tulisan tersebut merupakan hasil dari pemikiran peserta didik sendiri, maka peserta didik tidak akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan kembali isi pikirannya dengan atau sambil membaca tulisan. Peserta didik menebak isi tulisan berdasarkan pemahaman yang ada di dalam pikirannya sendiri. Dengan intuisinya, mereka menyamakan tulisan dengan pemahaman penghayatan langsung yang sudah di utarakannya dalam percakapan. 
Dapat disimpulkan bahwa dalam tahap membaca ideovisual peserta didik dilatih untuk memahami bacaan secara global intuitif. Dengan melakukan kegiatan membaca ideovisual peserta didik tidak hanya belajar memahami isi bacaan secara global intuitif, tetapi sekaligus juga belajar mengenal lambang tulis secara global sedini mungkin. Jadi bukan mengenal huruf, tetapi mengenal tulisan kata, kelompok kata atau kalimat yang maknanya dipahami secara global intuitif. 

c.        Percakapan Linguitik (PERCALI) 
Percakapan Linguitik (Percali) adalah percakapan tentang tata bahasa yang bertitik tolak dari bacaan. Tujuan dari percakapan ini adalah agar tunarungu mampu merefleksikan topik-topik tata bahasa, mampu menguasai isi dan bentuk bahasa, mampu mengembangkan dan menggali unsur-unsur bahasa. 
Umumnya percali digunakan jika tunarungu sudah dapat mengusai kosa kata yang lumayan banyak sehingga mampu membandingkan dan mencari perbedaan makna selain kemampuan mengembangkan struktur bahasa. 
Kegiatan percali dapat secara langsung menggunakan bacaan dengan struktur bahasa dan dengan kosa kata baru serta istilah baru.

Sumber : Pelatihan MMR PPPPTK TK & LB Bandung 2019

Video Pelaksanaan MMR :




2 komentar:

  1. Perdati itu jelasnya bagaimana, bu?

    BalasHapus
  2. Halo Pak Irfan, terimakasih sudah berkunjung ke blog ini.
    Untuk Perdati, itu adalah salah satu teknik awal dalam MMR, dimana pelajaran akan dimulai didasarkan pada percakapan antara guru dan murid tentang pengalaman yang diceritakan oleh murid dalam suasana percakapan yang wajar dan mengalir apa adanya.

    BalasHapus

Pengasuhan Positif

PENGASUHAN POSITIF Pengertian Pengasuhan Positif  Pengasuhan positif merupakan pengasuhan yang berdasarkan kasih sayang, salin...

Wikipedia

Hasil penelusuran