KONSEP DASAR METODE
MATERNAL REFLEKTIF (MMR)
Filosofis Pembelajaran pada Anak
Tunarungu
Kehilangan
pendengaran bagi seseorang membawa dampak yang sangat besar, terlebih
kehilangan pendengaran tersebut terjadinya sejak lahir. Mereka yang mengalami
kehilangan pendengaran sejak lahir tidak mengalami pemerolehan bahasa, tidak
mengenal lambang bahasa dan tidak mampu berkomunikasi dengan verbal. Kondisi
ini dialami oleh anak tunarungu. Namun demikian bukan berarti anak tunarungu
tidak berhak memperoleh pengalaman mengikuti pembelajaran pengembangan bahasa,
baik bahasa lisan maupun bahasa tertulis.
Sumber : https://radarsurabaya.jawapos.com/
Seharusnya
pembelajaran bagi peserta didik tunarungu harus memberikan peluang yang sama
dengan peserta didik mendengar dalam mengembangkan kemampuan berbahasa.
Pengembangan kemampuan berbahasa pada peserta didik tunarungu secara dasar
harus mengikuti pola pengembangan berbahasa pada individu mendengar, hanya
dalam implementasinya harus menyesuaikan dengan dampak dari ketidak berfungsian
indera pendengarannya. Dengan demikian, bahwa orientasi pembelajaran
pengembangan kemampuan berbahasa pada peserta didik tunarungu harus
memberikan akses ke arah pengembangan kemampuan bercakap-cakap, meskipun dalam
tekniknya memerlukan modifikasi dalam meode, alat dan bahan serta waktu.
Ciri-ciri
pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method adalah
sebagai berikut:
a.
Melaksanakan percakapan yang
sewajarnya
b.
Metode tangkap, tanggap, peran
ganda
c.
Ungkapan anak seritmis mungkin
d. Mengikuti cara-cara anak mendengar
menguasai bahasa ibu. Bertitik tolak pada
minat & kebutuhan komunikasi
anak
e. Menyajikan bahasa sewajar mungkin baik
reseptif maupun ekspresif
f. Menuntun anak agar secara bertahap
dapat menemukan sendiri aturan atau bentuk
Bahasa melalui refleksi terhadap
segala pengalaman berbahasa
Mengapa harus dengan percakapan? karena percakapan pada prinsipnya terjadi
antara 2 (dua) orang atau lebih dengan situasi yang rileks dan wajar tanpa
dibuat-buat serta berlangsung secara spontan. Melalui percakapan diharapkan
tunarungu dapat memiliki sikap spontan, memiliki sikap respontif,
memiliki sikap empati, dan terampil berkomunikasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Maternal Reflection Method merupakan
metode pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu yang menirukan cara seorang ibu
mengajarkan bahasa kepada anaknya yang belum berbahasa sampai anak mampu
berbahasa dengan merefleksikan bahasa yang dimiliki melalui kegiatan
percakapan. Contohnya: suara ocehan anak “maemm” Ibu menangkap dan membahasakan
maksud anak “Oh.. dede mau makan? Dede mau makan apa? Oh dede mau makan roti
ya?”. Berdasarkan contoh tersebut terlihat bahwa ibu menangkap maksud anak dan
merefleksikan berulang-ulang bahasa yang diungkapkan oleh anak.
Pengertian Metode Maternal Reflektif
Banyak ahli yang
berpendapat bahwa pembelajaran bagi anak tunarungu difokuskan pada upaya
membantu mengatasi hambatan wicaranya dengan cara mengajarkan keterampilan
berbicara dengan tehnik yang sama dilakukan pada anak mendengar. Selain
itu, Ada beberapa tehnik atau cara khusus untuk mengatasi hambatan yang ada
dalam proses penguasaan bahasa seperti artikulasi dan sebagainya. Dari
pandangan ini maka Metode pembelajaran yang gramatikal atau konstruktif pun
muncul (Murni Winarssih; 2018:25). Ada pendapat lain yang mengemukakan
bahwa pembelajaran bahasa sedapat mungkin menggunakan pendekatan seperti proses
penguasaan bahasa pada anak yang mendengar dengan menciptakan situasi yang
hangat yang sedang dialami anak. Karena pendekatannya bersifat situasional atau
natural maka metode pembelajaran ini dikenal dengan Metode Natural. Kedua
metode di atas memiliki kekuatan dan kelemahan yang selanjutnya disempurnakan
oleh Maternal Reflection Method (MRM).
Maternal Reflection
Method (MRM) adalah metode yang tetap mempertahankan
proses penguasaan bahasa seperti pada anak mendengar seperti yang dilakukan
Metode Natural namun tidak melupakan unsur gramatikal pada Metode
Konstruktif.
Secara alamiah,
naluri seorang ibu akan terus mengamati bayinya dan akan mengikuti apa yang
diamati atau yang menjadi perhatian bayi tersebut. Dengan sendirinya si ibu
mengasumsikan adanya maksud/intensi tertentu pada bayinya dan akan membahasakan
apa yang dimaksud bayinya itu. Situasi saling mengamati terhadap suatu benda
oleh ibu dan bayi ini membentuk triangle reference sebagai acuan komunikasi.
Respon bayi berupa senyuman, tertawa atau gerakan-gerakan tertentu menjadi
motivasi bagi ibu untuk melanjutkan interaksi tersebut yang pada akhirnya
terjalin suatu komunikasi pra-bahasa yang berkesinambungan (Bruner dalam
Bunawan dan Yuwati, 2000).
Dasar pemikiran
seperti dikemukakan di atas melandasi pemikiran Uden (1977) yang mencetuskan Maternal
Reflection Method dan istilah yang kita kenal di Indonesia adalah metode
marital refleksi.
Hal ini dikarenakan
situasi dimana seorang bayi yang divonis menyandang ketunarunguan kemudian sang
ibu bayi tidak dapat menciptakan situasi intersubyektifitas atau triangle
reference dan berhenti mengajaknya bercakap. Kondisi tersebut justru semakin
menghambat proses perkembangan bahasa anak, karena percakapan merupakan kunci
perkembangan bahasa anak tunarungu (Hollingshead, 1982 dalam Bunawan dan
Yuwati, 2000). Seorang anak Tunarungu dapat memperoleh bahasa jika seorang ibu
secara naluriah/alami/natural dan informal menggunakan bahasanya untuk
memuaskan kebutuhan psikologis anak. Metode inilah yang disebut Maternal
Reflection Method (Tim Guru Pangludi Luhur, 2013:6).
Secara garis besar,
kegiatan pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method (MRM)
terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan
menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan
dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
Tujuan Metode Maternal Reflektif
Penggunaan metode
maternal reflektif bertujuan untuk mengoptimalkan perkembangan bahasa pada anak
tunarungu melalui optimalisasi percakapan.
Secara rinci,
penggunakan metode maternal refelektif adalah sebagai berikut:
1. Agar anak tunarungu dapat semakin
bersikap oral
2. Agar anak tunarungu dapat dan suka
mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan
curahan hati
3. Agar anak tunarungu dapat dan suka
membaca sendiri
4. Agar anak tunarungu dapat berkomunikasi
dengan teman sebayanya yang
berpendengarannya normal
Perkembangan penguasaan bahasa dan kemampuan berbahasa anak tunarungu
yang menggunakan MMR bersumbu pada percakapan. Setiap hari kita sering
berbicara satu sama lain, begitu pula dengan mereka. Yang terpenting adalah
percakapan dimulai dengan seorang anak, kita menangkap maksud atau pernyataan
anak tersebut, lalu menafsirkan pernyataan dengan cara bertanya. Apabila ada
anak salah mengucapkan fonem dan kalimat, kita berusaha membetulkannya.
Usahakan kita sering bertanya, mengundang, mangajak, menentang, bahkan berdebat
untuk menimbulkan reaksi spontan dari anak ini sehingga percakapan ada
lanjutannya. Percakapan ini akan menghasilkan anak tersebut dapat bersikap oral
dengan lancar, artikulasinya jelas, dan berani bergaul, serta mencapai
kemampuan berbahasa yang maksimal.
Perlu diingat motto metode maternal reflektif adalah “apa yang ingin kau
katakan, katakanlah”.
Prinsip-prinsip Metode Maternal Reflektif
Van Uden menyebutkan
jika perkembangan dari metode MMR memiliki atau mencakup beberapa prinsip antara
lain:
1. Percakapan
yang digunakan dalam metode ini adalah percakapan sewajarnya.
Segala bentuk
bahasa yang digunakan dalam percakapan ini bisa memergunakan
kalimat seru,
berita, tanya, ungkapan sehari-hari, ungkapan perasaan dan
lain sebagainya.
2. Hendaknya
melatih anak mengucapkannya “seritmis” untuk membantu ingatan
anak khususnya
pemahaman mereka akan “struktur face”
3. Seorang
anak tunarungu memiliki kekurangan dalam hal ingatan sehingga
pelajaranseperti
membaca dan menulis tidak boleh diabaikan. Usahakan untuk
memulainya dari usia
3 tahun.
4. Perbanyak
latihan membaca dan percakapan sebagai pelajaran untuk refleksi
bahasa.
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama sekolah yang menggunakan Maternal
Reflection Method, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan
melalui percakapan.
Prinsip-prinsip dari Maternal Reflection Method ini adalah:
1. Percakapan harus terjadi sedini
mungkin, sebelum anak berbahasa sepatah katapun.
2. Lingkungan yang mengajak bercakap
(kapan saja, dimana saja, tentang apa saja).
3. Percakapan bertolak dari pengalaman
bersama (ibu/orangtua. guru, teman).
4. Percakapan dengan Motto “apa yang ingin
kau katakan, katakalah begini…”
5. Percakapan berlangsung dengan Metode
Tangkap dan Peran Ganda.
Tahapan Metode Maternal Reflektif (MMR)
Banyak ahli yang
berpendapat bahwa pembelajaran bagi anak tunarungu difokuskan pada upaya
membantu mengatasi hambatan wicaranya dengan cara mengajarkan keterampilan
berbicara dengan tehnik yang sama dilakukan pada anak mendengar. Selain
itu, Ada beberapa tehnik atau cara khusus untuk mengatasi hambatan yang ada
dalam proses penguasaan bahasa seperti artikulasi dan sebagainya. Dari
pandangan ini maka Metode pembelajaran yang gramatikal atau konstruktif pun
muncul (Murni Winarssih; 2018:25).
Ada pendapat lain
yang mengemukakan bahwa pembelajaran bahasa sedapat mungkin menggunakan
pendekatan seperti proses penguasaan bahasa pada anak yang mendengar dengan
menciptakan situasi yang hangat yang sedang dialami anak. Karena pendekatannya
bersifat situasional atau natural maka metode pembelajaran ini dikenal dengan
Metode Natural. Kedua metode di atas memiliki kekuatan dan kelemahan yang
selanjutnya disempurnakan oleh Maternal Reflection Method (MRM).
Maternal Reflection
Method (MRM) adalah metode yang tetap mempertahankan
proses penguasaan bahasa seperti pada anak mendengar seperti yang dilakukan
Metode Natural namun tidak melupakan unsur gramatikal pada Metode
Konstruktif.
Secara alamiah,
naluri seorang ibu akan terus mengamati bayinya dan akan mengikuti apa yang
diamati atau yang menjadi perhatian bayi tersebut. Dengan sendirinya si ibu
mengasumsikan adanya maksud/intensi tertentu pada bayinya dan akan membahasakan
apa yang dimaksud bayinya itu. Situasi saling mengamati terhadap suatu benda
oleh ibu dan bayi ini membentuk triangle reference sebagai acuan komuniaksi.
Respon bayi berupa senyuman, tertawa atau gerakan-gerakan tertentu menjadi
motivasi bagi ibu untuk melanjutkan interaksi tersebut yang pada akhirnya
terjalin suatu komunikasi pra-bahasa yang berkesinambungan (Bruner dalam
Bunawan dan Yuwati, 2000).
Dasar pemikiran
seperti dikemukakan di atas melandasi pemikiran Uden (1977) yang mencetuskan Maternal
Reflection Method dan istilah yang kita kenal di Indonesia adalah metode
marital refleksi.
Hal ini dikarenakan
situasi dimana seorang bayi yang divonis menyandang ketunarunguan kemudian sang
ibu bayi tidak dapat menciptakan situasi intersubyektifitas atau triangle
reference dan berhenti mengajaknya bercakap. Kondisi tersebut justru semakin
menghambat proses perkembangan bahasa anak, karena percakapan merupakan kunci
perkembangan bahasa anak tunarungu (Hollingshead, 1982 dalam Bunawan dan
Yuwati, 2000). Seorang anak Tunarungu dapat memperoleh bahasa jika seorang ibu
secara naluriah/alami/natural dan informal menggunakan bahasanya untuk
memuaskan kebutuhan psikologis anak. Metode inilah yang disebut Maternal
Reflection Method (Tim Guru Pangludi Luhur, 2013:6).
Secara garis besar,
kegiatan pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method (MRM)
terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan
menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan
dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
Kegiatan percakapan
menjadi ciri utama sekolah yang menggunakan Maternal Reflection Method,
karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan.
Prinsip-prinsip dari Maternal Reflection Method ini adalah:
1. Percakapan harus terjadi sedini
mungkin, sebelum anak berbahasa sepatah katapun.
2.
Lingkungan yang mengajak bercakap
(kapan saja, dimana saja, tentang apa saja).
3.
Percakapan bertolak dari pengalaman
bersama (ibu/orangtua. guru, teman).
4.
Percakapan dengan Motto “apa yang ingin
kau katakan, katakalah begini…”
5.
Percakapan berlangsung dengan Metode
Tangkap dan Peran Ganda.
Ciri-ciri pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method
adalah sebagai berikut:
1.
Melaksanakan percakapan yang
sewajarnya
2.
Metode tangkap, tanggap, peran
ganda
3.
Ungkapan anak seritmis mungkin
4. Mengikuti cara-cara anak mendengar
menguasai bahasa ibu 5) Bertitik tolak pada
minat & kebutuhan komunikasi
anak
5. Menyajikan bahasa sewajar mungkin baik
reseptif maupun ekspresif
6. Menuntun anak agar secara bertahap
dapat menemukan sendiri aturan atau bentuk
Bahasa melalui refleksi terhadap
segala pengalaman berbahasa
Mengapa harus dengan percakapan? karena percakapan pada prinsipnya
terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih dengan situasi yang rileks dan wajar
tanpa dibuat-buat serta berlangsung secara spontan. Melalui percakapan
diharapkan tunarungu dapat memiliki sikap spontan, memiliki sikap
respontif, memiliki sikap empati, dan terampil berkomunikasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Maternal Reflection Method merupakan
metode pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu yang menirukan cara seorang ibu
mengajarkan bahasa kepada anaknya yang belum berbahasa sampai anak mampu
berbahasa dengan merefleksikan bahasa yang dimiliki melalui kegiatan
percakapan. Contohnya: suara ocehan anak “maemm” Ibu menangkap dan membahasakan
maksud anak “Oh.. dede mau makan? Dede mau makan apa? Oh dede mau makan roti
ya?”. Berdasarkan contoh tersebut terlihat bahwa ibu menangkap maksud anak dan
merefleksikan berulang-ulang bahasa yang diungkapkan oleh anak. Proses
kegiatan MRM dibagi menjadi 3 yaitu percakapan dari hati ke hati
(Perdati), percakapan membaca ideovisual (Percami), dan Percakapan Linguistik
(Percali).
Tahapan Maternal
Reflective Method (MMR)
a.
Percakapan dari hati ke hati (PERDATI)
Percakapan dari hati ke hati (Perdati) Makna dari
percakapan dari hati ke hati ini adalah percakapan yang berlangsung secara
spontan, dalam suasana santai, rileks dan terjadi intersubyektifitas (dua hati
memikirkan obyek yang sama). Percakapan ini bertujuan:
1. memperoleh dan menguasai bahasa percakapan sehari-hari
2. mampu menggunakan perbendaharaan kata secara kontekstual
3. mampu berkomunikasi secara oral dan grafis
4. terampil berkomunikasi secara lisan dan tulis
5. mampu mempelajari dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan
b.
Percakapan membaca Ideovisual (PERCAMI)
Percakapan membaca ideovisual (Percami), adalah
berasal dari kata idea yang artinya ide, gagasan, pikiran sedangkan visual
artinya ditangkap melalui pengelihatan. Jadi secara bahasa ideovisual dapat
diartikan membaca gagasan, pikiran atau ide sendiri yang ditangkap secara
visual.
Menurut Bunawan dan Yuwati (2000: 133),
mengungkapkan bahwa membaca ideovisual adalah membaca pikiran atau gagasan atau
ide sendiri yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau grafis sehingga dapat di
tangkap secara visual.
Kegiatan membaca ideovisual belum ada tuntutan pada
peserta didik untuk dapat membaca huruf atau kata atau kalimat, tetapi hanya
dituntut agar dapat memahami isi tulisan secara global intuitif (keseluruhan
makna). Karena di dalam tulisan tersebut merupakan hasil dari pemikiran peserta
didik sendiri, maka peserta didik tidak akan mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan kembali isi pikirannya dengan atau sambil membaca tulisan.
Peserta didik menebak isi tulisan berdasarkan pemahaman yang ada di dalam
pikirannya sendiri. Dengan intuisinya, mereka menyamakan tulisan dengan
pemahaman penghayatan langsung yang sudah di utarakannya dalam
percakapan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam tahap membaca
ideovisual peserta didik dilatih untuk memahami bacaan secara global intuitif.
Dengan melakukan kegiatan membaca ideovisual peserta didik tidak hanya belajar
memahami isi bacaan secara global intuitif, tetapi sekaligus juga belajar
mengenal lambang tulis secara global sedini mungkin. Jadi bukan mengenal huruf,
tetapi mengenal tulisan kata, kelompok kata atau kalimat yang maknanya dipahami
secara global intuitif.
c.
Percakapan Linguitik (PERCALI)
Percakapan Linguitik (Percali) adalah percakapan
tentang tata bahasa yang bertitik tolak dari bacaan. Tujuan dari percakapan ini
adalah agar tunarungu mampu merefleksikan topik-topik tata bahasa, mampu
menguasai isi dan bentuk bahasa, mampu mengembangkan dan menggali unsur-unsur
bahasa.
Umumnya percali digunakan jika tunarungu sudah
dapat mengusai kosa kata yang lumayan banyak sehingga mampu membandingkan dan
mencari perbedaan makna selain kemampuan mengembangkan struktur bahasa.
Kegiatan percali dapat secara langsung menggunakan
bacaan dengan struktur bahasa dan dengan kosa kata baru serta istilah baru.
Sumber : Pelatihan MMR PPPPTK TK & LB Bandung 2019
Video Pelaksanaan MMR :
Perdati itu jelasnya bagaimana, bu?
BalasHapusHalo Pak Irfan, terimakasih sudah berkunjung ke blog ini.
BalasHapusUntuk Perdati, itu adalah salah satu teknik awal dalam MMR, dimana pelajaran akan dimulai didasarkan pada percakapan antara guru dan murid tentang pengalaman yang diceritakan oleh murid dalam suasana percakapan yang wajar dan mengalir apa adanya.