Jumat, 03 Januari 2020
MMR (Metode Maternal Reflektif)
KONSEP DASAR METODE
MATERNAL REFLEKTIF (MMR)
Filosofis Pembelajaran pada Anak
Tunarungu
Kehilangan
pendengaran bagi seseorang membawa dampak yang sangat besar, terlebih
kehilangan pendengaran tersebut terjadinya sejak lahir. Mereka yang mengalami
kehilangan pendengaran sejak lahir tidak mengalami pemerolehan bahasa, tidak
mengenal lambang bahasa dan tidak mampu berkomunikasi dengan verbal. Kondisi
ini dialami oleh anak tunarungu. Namun demikian bukan berarti anak tunarungu
tidak berhak memperoleh pengalaman mengikuti pembelajaran pengembangan bahasa,
baik bahasa lisan maupun bahasa tertulis.
Sumber : https://radarsurabaya.jawapos.com/
Seharusnya
pembelajaran bagi peserta didik tunarungu harus memberikan peluang yang sama
dengan peserta didik mendengar dalam mengembangkan kemampuan berbahasa.
Pengembangan kemampuan berbahasa pada peserta didik tunarungu secara dasar
harus mengikuti pola pengembangan berbahasa pada individu mendengar, hanya
dalam implementasinya harus menyesuaikan dengan dampak dari ketidak berfungsian
indera pendengarannya. Dengan demikian, bahwa orientasi pembelajaran
pengembangan kemampuan berbahasa pada peserta didik tunarungu harus
memberikan akses ke arah pengembangan kemampuan bercakap-cakap, meskipun dalam
tekniknya memerlukan modifikasi dalam meode, alat dan bahan serta waktu.
Ciri-ciri
pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method adalah
sebagai berikut:
a.
Melaksanakan percakapan yang
sewajarnya
b.
Metode tangkap, tanggap, peran
ganda
c.
Ungkapan anak seritmis mungkin
d. Mengikuti cara-cara anak mendengar
menguasai bahasa ibu. Bertitik tolak pada
minat & kebutuhan komunikasi
anak
e. Menyajikan bahasa sewajar mungkin baik
reseptif maupun ekspresif
f. Menuntun anak agar secara bertahap
dapat menemukan sendiri aturan atau bentuk
Bahasa melalui refleksi terhadap
segala pengalaman berbahasa
Mengapa harus dengan percakapan? karena percakapan pada prinsipnya terjadi
antara 2 (dua) orang atau lebih dengan situasi yang rileks dan wajar tanpa
dibuat-buat serta berlangsung secara spontan. Melalui percakapan diharapkan
tunarungu dapat memiliki sikap spontan, memiliki sikap respontif,
memiliki sikap empati, dan terampil berkomunikasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Maternal Reflection Method merupakan
metode pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu yang menirukan cara seorang ibu
mengajarkan bahasa kepada anaknya yang belum berbahasa sampai anak mampu
berbahasa dengan merefleksikan bahasa yang dimiliki melalui kegiatan
percakapan. Contohnya: suara ocehan anak “maemm” Ibu menangkap dan membahasakan
maksud anak “Oh.. dede mau makan? Dede mau makan apa? Oh dede mau makan roti
ya?”. Berdasarkan contoh tersebut terlihat bahwa ibu menangkap maksud anak dan
merefleksikan berulang-ulang bahasa yang diungkapkan oleh anak.
Pengertian Metode Maternal Reflektif
Banyak ahli yang
berpendapat bahwa pembelajaran bagi anak tunarungu difokuskan pada upaya
membantu mengatasi hambatan wicaranya dengan cara mengajarkan keterampilan
berbicara dengan tehnik yang sama dilakukan pada anak mendengar. Selain
itu, Ada beberapa tehnik atau cara khusus untuk mengatasi hambatan yang ada
dalam proses penguasaan bahasa seperti artikulasi dan sebagainya. Dari
pandangan ini maka Metode pembelajaran yang gramatikal atau konstruktif pun
muncul (Murni Winarssih; 2018:25). Ada pendapat lain yang mengemukakan
bahwa pembelajaran bahasa sedapat mungkin menggunakan pendekatan seperti proses
penguasaan bahasa pada anak yang mendengar dengan menciptakan situasi yang
hangat yang sedang dialami anak. Karena pendekatannya bersifat situasional atau
natural maka metode pembelajaran ini dikenal dengan Metode Natural. Kedua
metode di atas memiliki kekuatan dan kelemahan yang selanjutnya disempurnakan
oleh Maternal Reflection Method (MRM).
Maternal Reflection
Method (MRM) adalah metode yang tetap mempertahankan
proses penguasaan bahasa seperti pada anak mendengar seperti yang dilakukan
Metode Natural namun tidak melupakan unsur gramatikal pada Metode
Konstruktif.
Secara alamiah,
naluri seorang ibu akan terus mengamati bayinya dan akan mengikuti apa yang
diamati atau yang menjadi perhatian bayi tersebut. Dengan sendirinya si ibu
mengasumsikan adanya maksud/intensi tertentu pada bayinya dan akan membahasakan
apa yang dimaksud bayinya itu. Situasi saling mengamati terhadap suatu benda
oleh ibu dan bayi ini membentuk triangle reference sebagai acuan komunikasi.
Respon bayi berupa senyuman, tertawa atau gerakan-gerakan tertentu menjadi
motivasi bagi ibu untuk melanjutkan interaksi tersebut yang pada akhirnya
terjalin suatu komunikasi pra-bahasa yang berkesinambungan (Bruner dalam
Bunawan dan Yuwati, 2000).
Dasar pemikiran
seperti dikemukakan di atas melandasi pemikiran Uden (1977) yang mencetuskan Maternal
Reflection Method dan istilah yang kita kenal di Indonesia adalah metode
marital refleksi.
Hal ini dikarenakan
situasi dimana seorang bayi yang divonis menyandang ketunarunguan kemudian sang
ibu bayi tidak dapat menciptakan situasi intersubyektifitas atau triangle
reference dan berhenti mengajaknya bercakap. Kondisi tersebut justru semakin
menghambat proses perkembangan bahasa anak, karena percakapan merupakan kunci
perkembangan bahasa anak tunarungu (Hollingshead, 1982 dalam Bunawan dan
Yuwati, 2000). Seorang anak Tunarungu dapat memperoleh bahasa jika seorang ibu
secara naluriah/alami/natural dan informal menggunakan bahasanya untuk
memuaskan kebutuhan psikologis anak. Metode inilah yang disebut Maternal
Reflection Method (Tim Guru Pangludi Luhur, 2013:6).
Secara garis besar,
kegiatan pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method (MRM)
terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan
menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan
dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
Tujuan Metode Maternal Reflektif
Penggunaan metode
maternal reflektif bertujuan untuk mengoptimalkan perkembangan bahasa pada anak
tunarungu melalui optimalisasi percakapan.
Secara rinci,
penggunakan metode maternal refelektif adalah sebagai berikut:
1. Agar anak tunarungu dapat semakin
bersikap oral
2. Agar anak tunarungu dapat dan suka
mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan
curahan hati
3. Agar anak tunarungu dapat dan suka
membaca sendiri
4. Agar anak tunarungu dapat berkomunikasi
dengan teman sebayanya yang
berpendengarannya normal
Perkembangan penguasaan bahasa dan kemampuan berbahasa anak tunarungu
yang menggunakan MMR bersumbu pada percakapan. Setiap hari kita sering
berbicara satu sama lain, begitu pula dengan mereka. Yang terpenting adalah
percakapan dimulai dengan seorang anak, kita menangkap maksud atau pernyataan
anak tersebut, lalu menafsirkan pernyataan dengan cara bertanya. Apabila ada
anak salah mengucapkan fonem dan kalimat, kita berusaha membetulkannya.
Usahakan kita sering bertanya, mengundang, mangajak, menentang, bahkan berdebat
untuk menimbulkan reaksi spontan dari anak ini sehingga percakapan ada
lanjutannya. Percakapan ini akan menghasilkan anak tersebut dapat bersikap oral
dengan lancar, artikulasinya jelas, dan berani bergaul, serta mencapai
kemampuan berbahasa yang maksimal.
Perlu diingat motto metode maternal reflektif adalah “apa yang ingin kau
katakan, katakanlah”.
Prinsip-prinsip Metode Maternal Reflektif
Van Uden menyebutkan
jika perkembangan dari metode MMR memiliki atau mencakup beberapa prinsip antara
lain:
1. Percakapan
yang digunakan dalam metode ini adalah percakapan sewajarnya.
Segala bentuk
bahasa yang digunakan dalam percakapan ini bisa memergunakan
kalimat seru,
berita, tanya, ungkapan sehari-hari, ungkapan perasaan dan
lain sebagainya.
2. Hendaknya
melatih anak mengucapkannya “seritmis” untuk membantu ingatan
anak khususnya
pemahaman mereka akan “struktur face”
3. Seorang
anak tunarungu memiliki kekurangan dalam hal ingatan sehingga
pelajaranseperti
membaca dan menulis tidak boleh diabaikan. Usahakan untuk
memulainya dari usia
3 tahun.
4. Perbanyak
latihan membaca dan percakapan sebagai pelajaran untuk refleksi
bahasa.
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama sekolah yang menggunakan Maternal
Reflection Method, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan
melalui percakapan.
Prinsip-prinsip dari Maternal Reflection Method ini adalah:
1. Percakapan harus terjadi sedini
mungkin, sebelum anak berbahasa sepatah katapun.
2. Lingkungan yang mengajak bercakap
(kapan saja, dimana saja, tentang apa saja).
3. Percakapan bertolak dari pengalaman
bersama (ibu/orangtua. guru, teman).
4. Percakapan dengan Motto “apa yang ingin
kau katakan, katakalah begini…”
5. Percakapan berlangsung dengan Metode
Tangkap dan Peran Ganda.
Tahapan Metode Maternal Reflektif (MMR)
Banyak ahli yang
berpendapat bahwa pembelajaran bagi anak tunarungu difokuskan pada upaya
membantu mengatasi hambatan wicaranya dengan cara mengajarkan keterampilan
berbicara dengan tehnik yang sama dilakukan pada anak mendengar. Selain
itu, Ada beberapa tehnik atau cara khusus untuk mengatasi hambatan yang ada
dalam proses penguasaan bahasa seperti artikulasi dan sebagainya. Dari
pandangan ini maka Metode pembelajaran yang gramatikal atau konstruktif pun
muncul (Murni Winarssih; 2018:25).
Ada pendapat lain
yang mengemukakan bahwa pembelajaran bahasa sedapat mungkin menggunakan
pendekatan seperti proses penguasaan bahasa pada anak yang mendengar dengan
menciptakan situasi yang hangat yang sedang dialami anak. Karena pendekatannya
bersifat situasional atau natural maka metode pembelajaran ini dikenal dengan
Metode Natural. Kedua metode di atas memiliki kekuatan dan kelemahan yang
selanjutnya disempurnakan oleh Maternal Reflection Method (MRM).
Maternal Reflection
Method (MRM) adalah metode yang tetap mempertahankan
proses penguasaan bahasa seperti pada anak mendengar seperti yang dilakukan
Metode Natural namun tidak melupakan unsur gramatikal pada Metode
Konstruktif.
Secara alamiah,
naluri seorang ibu akan terus mengamati bayinya dan akan mengikuti apa yang
diamati atau yang menjadi perhatian bayi tersebut. Dengan sendirinya si ibu
mengasumsikan adanya maksud/intensi tertentu pada bayinya dan akan membahasakan
apa yang dimaksud bayinya itu. Situasi saling mengamati terhadap suatu benda
oleh ibu dan bayi ini membentuk triangle reference sebagai acuan komuniaksi.
Respon bayi berupa senyuman, tertawa atau gerakan-gerakan tertentu menjadi
motivasi bagi ibu untuk melanjutkan interaksi tersebut yang pada akhirnya
terjalin suatu komunikasi pra-bahasa yang berkesinambungan (Bruner dalam
Bunawan dan Yuwati, 2000).
Dasar pemikiran
seperti dikemukakan di atas melandasi pemikiran Uden (1977) yang mencetuskan Maternal
Reflection Method dan istilah yang kita kenal di Indonesia adalah metode
marital refleksi.
Hal ini dikarenakan
situasi dimana seorang bayi yang divonis menyandang ketunarunguan kemudian sang
ibu bayi tidak dapat menciptakan situasi intersubyektifitas atau triangle
reference dan berhenti mengajaknya bercakap. Kondisi tersebut justru semakin
menghambat proses perkembangan bahasa anak, karena percakapan merupakan kunci
perkembangan bahasa anak tunarungu (Hollingshead, 1982 dalam Bunawan dan
Yuwati, 2000). Seorang anak Tunarungu dapat memperoleh bahasa jika seorang ibu
secara naluriah/alami/natural dan informal menggunakan bahasanya untuk
memuaskan kebutuhan psikologis anak. Metode inilah yang disebut Maternal
Reflection Method (Tim Guru Pangludi Luhur, 2013:6).
Secara garis besar,
kegiatan pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method (MRM)
terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan
menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan
dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
Kegiatan percakapan
menjadi ciri utama sekolah yang menggunakan Maternal Reflection Method,
karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan.
Prinsip-prinsip dari Maternal Reflection Method ini adalah:
1. Percakapan harus terjadi sedini
mungkin, sebelum anak berbahasa sepatah katapun.
2.
Lingkungan yang mengajak bercakap
(kapan saja, dimana saja, tentang apa saja).
3.
Percakapan bertolak dari pengalaman
bersama (ibu/orangtua. guru, teman).
4.
Percakapan dengan Motto “apa yang ingin
kau katakan, katakalah begini…”
5.
Percakapan berlangsung dengan Metode
Tangkap dan Peran Ganda.
Ciri-ciri pembelajaran dengan menggunakan Maternal Reflection Method
adalah sebagai berikut:
1.
Melaksanakan percakapan yang
sewajarnya
2.
Metode tangkap, tanggap, peran
ganda
3.
Ungkapan anak seritmis mungkin
4. Mengikuti cara-cara anak mendengar
menguasai bahasa ibu 5) Bertitik tolak pada
minat & kebutuhan komunikasi
anak
5. Menyajikan bahasa sewajar mungkin baik
reseptif maupun ekspresif
6. Menuntun anak agar secara bertahap
dapat menemukan sendiri aturan atau bentuk
Bahasa melalui refleksi terhadap
segala pengalaman berbahasa
Mengapa harus dengan percakapan? karena percakapan pada prinsipnya
terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih dengan situasi yang rileks dan wajar
tanpa dibuat-buat serta berlangsung secara spontan. Melalui percakapan
diharapkan tunarungu dapat memiliki sikap spontan, memiliki sikap
respontif, memiliki sikap empati, dan terampil berkomunikasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Maternal Reflection Method merupakan
metode pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu yang menirukan cara seorang ibu
mengajarkan bahasa kepada anaknya yang belum berbahasa sampai anak mampu
berbahasa dengan merefleksikan bahasa yang dimiliki melalui kegiatan
percakapan. Contohnya: suara ocehan anak “maemm” Ibu menangkap dan membahasakan
maksud anak “Oh.. dede mau makan? Dede mau makan apa? Oh dede mau makan roti
ya?”. Berdasarkan contoh tersebut terlihat bahwa ibu menangkap maksud anak dan
merefleksikan berulang-ulang bahasa yang diungkapkan oleh anak. Proses
kegiatan MRM dibagi menjadi 3 yaitu percakapan dari hati ke hati
(Perdati), percakapan membaca ideovisual (Percami), dan Percakapan Linguistik
(Percali).
Tahapan Maternal
Reflective Method (MMR)
a.
Percakapan dari hati ke hati (PERDATI)
Percakapan dari hati ke hati (Perdati) Makna dari
percakapan dari hati ke hati ini adalah percakapan yang berlangsung secara
spontan, dalam suasana santai, rileks dan terjadi intersubyektifitas (dua hati
memikirkan obyek yang sama). Percakapan ini bertujuan:
1. memperoleh dan menguasai bahasa percakapan sehari-hari
2. mampu menggunakan perbendaharaan kata secara kontekstual
3. mampu berkomunikasi secara oral dan grafis
4. terampil berkomunikasi secara lisan dan tulis
5. mampu mempelajari dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan
b.
Percakapan membaca Ideovisual (PERCAMI)
Percakapan membaca ideovisual (Percami), adalah
berasal dari kata idea yang artinya ide, gagasan, pikiran sedangkan visual
artinya ditangkap melalui pengelihatan. Jadi secara bahasa ideovisual dapat
diartikan membaca gagasan, pikiran atau ide sendiri yang ditangkap secara
visual.
Menurut Bunawan dan Yuwati (2000: 133),
mengungkapkan bahwa membaca ideovisual adalah membaca pikiran atau gagasan atau
ide sendiri yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau grafis sehingga dapat di
tangkap secara visual.
Kegiatan membaca ideovisual belum ada tuntutan pada
peserta didik untuk dapat membaca huruf atau kata atau kalimat, tetapi hanya
dituntut agar dapat memahami isi tulisan secara global intuitif (keseluruhan
makna). Karena di dalam tulisan tersebut merupakan hasil dari pemikiran peserta
didik sendiri, maka peserta didik tidak akan mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan kembali isi pikirannya dengan atau sambil membaca tulisan.
Peserta didik menebak isi tulisan berdasarkan pemahaman yang ada di dalam
pikirannya sendiri. Dengan intuisinya, mereka menyamakan tulisan dengan
pemahaman penghayatan langsung yang sudah di utarakannya dalam
percakapan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam tahap membaca
ideovisual peserta didik dilatih untuk memahami bacaan secara global intuitif.
Dengan melakukan kegiatan membaca ideovisual peserta didik tidak hanya belajar
memahami isi bacaan secara global intuitif, tetapi sekaligus juga belajar
mengenal lambang tulis secara global sedini mungkin. Jadi bukan mengenal huruf,
tetapi mengenal tulisan kata, kelompok kata atau kalimat yang maknanya dipahami
secara global intuitif.
c.
Percakapan Linguitik (PERCALI)
Percakapan Linguitik (Percali) adalah percakapan
tentang tata bahasa yang bertitik tolak dari bacaan. Tujuan dari percakapan ini
adalah agar tunarungu mampu merefleksikan topik-topik tata bahasa, mampu
menguasai isi dan bentuk bahasa, mampu mengembangkan dan menggali unsur-unsur
bahasa.
Umumnya percali digunakan jika tunarungu sudah
dapat mengusai kosa kata yang lumayan banyak sehingga mampu membandingkan dan
mencari perbedaan makna selain kemampuan mengembangkan struktur bahasa.
Kegiatan percali dapat secara langsung menggunakan
bacaan dengan struktur bahasa dan dengan kosa kata baru serta istilah baru.
Sumber : Pelatihan MMR PPPPTK TK & LB Bandung 2019
Video Pelaksanaan MMR :
Pengasuhan Positif
By Ibu Guru Belajar Januari 03, 2020
Disiplin Positif, Komunikasi Efektif, Pengasuhan Positif 4 comments
PENGASUHAN POSITIF
Pengertian Pengasuhan
Positif
Pengasuhan positif
merupakan pengasuhan yang berdasarkan kasih sayang, saling menghargai,
membangun hubungan yang hangat antara anak dan orang tua. Penerapan pengasuhan
ini akan saling membangun dengan mengedepankan penghargaan, pemenuhan, dan
perlindungan hak anak, serta mengutamakan kepentingan terbaik anak. Orang tua
yang menerapkan pengasuhan positif selalu berupaya menciptakan lingkungan yang
ramah dan bersahabat untuk anak sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
secara optimal.
Apa tujuan pengasuhan
positif?
1. Meningkatkan Kualitas
Interaksi anak dengan orang tua
Dengan memberikan
pengasuhan positif, anak akan merasa disayangi dan dihargai oleh orang tua. Di
sisi lain, orang tua juga merasa dipercaya dan dihormati oleh anak. Hal ini
membuat kualitas interaksi antara anak dan orang tua lebih positif dan penuh
kehangatan.
2. Mengoptimalkan tumbuh
kembang anak
Pengasuhan positif dari
orang tua membuat seluruh aspek tumbuh kembang anak terstimulasi dengan baik.
Tidak hanya dari segi fisik, aspek perkembangan kognitif, sosial dan emosional
juga diperhatikan oleh orang tua.
3. Mencegah
perilaku-perilaku negatif di kemudian hari
Anak yang mendapat
pengasuhan positif akan cenderung memiliki kelekatan yang kuat dengan orang
tuanya. Hal ini membentuk perilaku positif di diri anak sehingga perilakun
negatif cenderung dapat dicegah.
Komunikasi Efektif
Banyak
orang berkata bahwa komunikasi adalah dasar dari hubungan yang baik, termasuk
hubungan antara orang tua dan anak. Melalui komunikasi, orang tua menyampaikan
pesan kasih sayang pada anak. Melalui komunikasi, orang tua mengajarkan banyak
hal pada anaknya. Melalui komunikasi pula, anak dan orang tua saling
menyampaikan apa yang mereka inginkan dan harapkan. Tidak ada pengasuhan
positif tanpa komunikasi yang efektif. yaitu proses penyampaian pesan dari
pengirim pesan dan dapat dipahami oleh penerima pesan dengan nyaman
Apa manfaat komunikasi dalam
pengasuhan?
Anak mempelajari perilaku
positif dan nilai-nilai melalui komunikasi dengan orang dewasa di sekitarnya,
khususnya orang tua. Tanpa komunikasi, tidak ada belajar.
Berikut adalah beberapa
manfaat komunikasi efektif.
1. Anak
merasa diterima dan dipercaya orang tua sehingga anak akan membicarakan semua
persoalan dengan orang tua.
2. Orang
tua lebih mudah menyampaikan harapan terhadap anak dan dapat mengembangkan
perilaku positif anak.
3. Orang
tua yang mendengarkan suara anak menunjukkan sikap respek. Anak merasa didengar
dan dimengerti dan pada gilirannya akan meningkatkan rasa percaya diri. Pada
gilirannya anak juga akan terlatih menjadi pendengar yang baik.
4. Anak
akan terlatih mengendalikan diri karena dalam komunikasi yang efektif anak dan
orang tua akan terlatih untuk menyimak ketika orang lain berbicara
5. Dengan
komunikasi yang baik anak juga akan menyampaikan pendapat, pemikiran, dan
perasaannya dengan baik dan terkendali.
Keterampilan komunikasi apa saja
yang penting dikuasai orang tua?
1. Keterampilan
berempati
Keterampilan orang tua
untuk memahami apa yang dirasakan, diharapkan, dan dipikirkan oleh anak. Mendengarkan
tanpa memberi penilaian, menyimak ekspresi, dan memahami perasaan anak sebelum
berbicara dengan anak.
2. Keterampilan
menyimak
Keterampilan orang tua
untuk bersabar dan fokus dalam menerima pesan dari anak.
3. Keterampilan
bertanya
Keterampilan orang tua
dalam membuat dan mengajukan pertanyaan yang membangun percakapan dengan anak.
4. Keterampilan
bercerita
Keterampilan orang tua
dalam menceritakan pengalaman atau cerita yang menarik perhatian anak.
5. Keterampilan
memberi umpan balik
Keterampilan memberi respon membantu
anak bercerita lebih banyak untuk memperjelas atau mengklarifikasi maksudnya.
Bagaimana cara membangun
komunikasi efektif dengan anak?
1. Orang
tua perlu memberi kesempatan pada anak agar bicara lebih banyak. Bagi sebagian
orang tua hal ini perlu dilatih terutama pada mereka yang selama ini lebih
banyak mendomi nasi pembicaraan dengan misalnya ceramah dan nasehat serta hanya
mengharapkan anak mendengar dan menyetujui yang mereka sampaikan.
2. Mendengarkan
secara aktif (memberi perhatian, berempati, tidak memotong pembicaraan, dan
tidak memberikan penilaian) perlu dikuasai oleh orang tua. Dengan cara ini anak
akan merasa dihormati, didengar, dan dimengerti. Ini akan membuat anak
mempunyai rasa percaya pada dan perasaan didukung oleh orang tua.
3. Berkomunikasi
dengan tingkat yang sejajar dengan anak. Hal ini tidak saja terkait dengan
posisi tubuh sehingga memungkinkan kontak mata dan membaca bahasa tubuh anak,
teruta ma jika anak masih kecil, tetapi juga terkait dengan bahasa yang
digunakan yang harus disesuaikan dengan usia anak.
4. Bahasa
yang pendek, tidak bertele-tele, dan jelas perlu digunakan agar pesan yang
disam- paikan orang tua mudah dipahami dan diterima oleh anak. Selain itu
bahasa yang positif akan lebih mendukung anak daripada bahasa yang negatif.
Apa saja penghalang dalam
berkomunikasi?
Cara berkomunikasi yang
efektif kelihatannya mudah, namun dalam praktik sehari-hari ternyata tanpa kita
sadari banyak hal yang membuat itu tidak terjadi. Berikut beberapa hal yang
sering kita lakukan :
1. Menyalahkan
Contohnya: “Kamu sih ga
mau dengerin Ibu, kan Ibu sudah bilang, siapkan PR kamu dari malam.”
2. Meremehkan
Contoh: “Ah kamu, begitu
saja tidak bisa?”
3. Perintah
Contoh: “Pokoknya, kamu
harus masuk jurusan IPA”
4. Ceramah
Contoh: “Kamu ini
kebiasaan ya pulang sore-sore. Kan mama sudah bilang kalau selesai sekolah
langsung pulang. Kamu jadi anak itu harus menurut sama orang tua. Kamu tau
tidak kalau anak yang tidak menurut itu nanti kalau sudah besar susah menjadi
orang sukses.Kamu memangnya mau jadi orang yang tidak sukses?”
5. Memberi
label
Contoh: “Dasar pemalas”
6. Mengejek
Contoh:
“Jelek banget sih gambar kamu?”
7. Membandingkan
Contoh: “Masa gini aja ga
bisa? Tuh lihat teman kamu, dia dapat nilai bagus.”
8. Menyindir
Contoh: “Duh pinter banget sih ini
anak Ayah, nilainya merah semua”
Ungkapan-ungkapan
negatif itu bisa menimbulkan rasa marah, dendam, minder, dan/atau banyak perasaan
negatif yang lain. Jika sebelumnya anak sudah mempunyai perasaan seperti yang
orang tua ungkapkan, maka yang disampaikan orang tua hanya akan mengonfirmasi
saja. Ingat ucapan kita ke anak adalah doa kita.
Disiplin Positif
Ketika
anak melakukan kesalahan atau berperilaku yang tidak kita inginkan, reaksi yang
sering kita lakukan baik di rumah maupun di sekolah adalah memberikan hukuman
fisik maupun verbal kepadanya. Ketika seorang anak memecahkan piring karena
berlari-lari di dalam ruangan, kadang kita langsung memukul tangan anak itu
atau menjewer telinganya. Ada orang tua yang bahkan mengunci anaknya di kamar
mandi ketika anak melakukan kenakalan. Pada anak-anak yang lebih besar, ketika
mereka membantah yang kita katakan kadang membuat kita emosi dan memukul anak
kita.
Banyak
yang berpendapat bahwa kita melakukan itu agar anak disiplin, bahkan ada
pepatah di sebagian masyarakat kita bahwa ‘di ujung rotan ada emas’. Pepatah
ini yang membuat kita membayangkan bahwa disiplin banyak berkaitan dengan
kekerasan. Padahal, pembentukan disiplin dengan cara negatif dapat memberikan
dampak kurang baik pada anak. Oleh karena itu, saat ini berkembang pendekatan
disiplin positif dalam membentuk perilaku anak.
Disiplin
positif adalah cara menumbuhkan disiplin yang didorong oleh kesadaran dalam
diri anak tanpa hukuman/ancaman dan hadiah atau sogokan. Anak berusaha untuk
tidak melakukan sesuatu yang salah karena memahami akan konsekuensi yang
terjadi. Disiplin positif merupakan pembentukan kebiasaan dan tingkah laku
positif anak yang melibatkan dukungan orang tua berupa ketegasan dan kasih
sayang sehingga keterampilan sosial anak dapat berkembang dengan optimal, bukan
mengendalikan anak dengan kekerasan atau hukuman.
Tujuan disiplin positif :
1. Membuat anak dapat
bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
2. Memberikan kesempatan
kepada anak untuk membangun tingkah laku sesuai dengan yang diinginkan oleh
lingkungannya.
3. Mengajarkan anak
bagaimana bertingkah laku, memahami mana yang benar dan mana yang salah.
Manfaat disiplin positif
1. Dapat menumbuhkan
kepercayaan diri anak
2. Dapat mendukung
kemandirian anak dan rasa bertanggung jawab atas dirinya
3. Dapat mendukung
lingkungan yang lebih baik dalam keluarga
Apa yang perlu diketahui sebelum menerapkan disiplin positif?
1. Pahami
tahap perkembangan anak.
Karakteristik anak di setiap tahap
perkembangan berbeda-beda. Orang tua perlu memahami karakteristik umum anak di
tiap tahap perkembangan serta bagaimana pengasuhan yang sesuai untuk tiap tahap
perkembangan.
2. Kenali
kekhasan anak.
Anak terlahir dengan
sifatnya masing-masing. Misalnya, ada yang mudah berkenalan dengan orang baru
dan ada yang lambat mengenal orang lain.
3. Pahami
kebutuhan anak
Setiap anak memiliki kebutuhan dasar
(makan, minum, tidur, main) yang perlu dipenuhi. Misalnya: Anak yang sedang
kelelahan, mengantuk, dan lapar akan sulit mengikuti aturan dan mematuhi
kesepakatan. Saat menerapkan disiplin, orang tua juga perlu memahami dan
memenuhi kebutuhan anak.
Apa tantangan dan hambatan orang tua saat menerapkan disiplin positif
1. Pengalaman
masa lalu orang tua
Pengalaman saat menjadi
anak akan memengaruhi cara menerapkan disiplin pada anak saat ini. Banyak
pengalaman yang dapat diterapkan pada anak kita, tetapi ada juga pengalaman
yang tidak perlu diulang.
2. Emosi
orang tua
Saat menerapkan disiplin,
ada berbagai emosi yang dirasakan oleh orang tua. Hal tersebut sangat wajar
dialami, tetapi perlu dikendalikan dengan baik.
Bagaimana cara menumbuhkan
disiplin pada diri anak?
1. Membuat
kesepakatan Bersama
Menyepakati aturan untuk
anggota keluarga sangat penting sehingga semua anggota keluarga tahu mana yang
boleh dan tidak serta mengetahui konsekuensinya jika perilaku yang tidak
diinginkan terjadi.
2. Sabar
dan percaya diri
Untuk mendisiplinkan anak
dituntut kesabaran yang tinggi dan keyakinan bahwa orang tua memiliki kemampuan
dalam mendisiplinkan anak.
3. Tenang
Sikap tenang orang tua
diperlukan agar pesan yang disampaikan lebih jelas sehingga mudah dipahami
anak.
4. Konsisten
Orang tua harus konsisten
dengan keputusan atau aturan yang telah ditetapkan bersama. Aturan untuk
memberitahu jika pulang terlambat, tidak berkata kasar, dan berdoa sebelum
makan akan lebih mudah dilakukan jika orang tua memberi teladan dengan konsisten
mengikuti aturan-aturan itu. Pesan yang membingungkan akan diterima anak
jika aturan hanya berlaku pada mereka
sedangkan orang tua diperbolehkan, misalnya merokok dan mengonsumsi minuman
keras.
5. Memberikan
penjelasan
Untuk menumbuhkan sifat
kritis di keluarga, aturan yang dibuat harus didasarkan atas alasan yang kuat.
Untuk itu orang tua, atau bahkan anak yang sudah menginjak dewasa, harus mampu
menjelaskannya. Jika ini dilakukan anak akan terlatih melakukan sesuatu atas
dasar alasan yang kuat, tidak karena alasan kepatuhan, ancaman hukuman, atau
iming-im ing hadiah.
6. Tidak
mudah menyerah
Jangan mudah terpancing
oleh perilaku anak sehingga menimbulkan kemarahan. Bila menghadapi kegagalan
ulangi kembali, percayalah anak mampu belajar disiplin.
7. Menghindari
melakukan kekerasan
Hindari mencaci,
mengecam, memukul anak, karena bisa membuat anak benci, dendam, dan mengacuhkan
orang tuanya.
8. Hindari
memberikan iming-iming agar anak mau berperilaku baik
Anak berperilaku baik
seharusnya karena kesadaran bahwa perilaku itu akan membawa manfaat untuk
dirinya dan bahkan lingkungannya. Seharusnya anak berperilaku baik bukan karena
hadiah yang dijanjikan. Sebagai contoh, orang tua perlu menjelaskan pada anak
bahwa mandi akan membuat dirinya nyaman, bukan karena akan mendapatkan hadiah
setelah mandi.
9. Mendampingi
anak tidak hanya pada saat sukses, tetapi juga pada saat sulit
Anak kadang mengalami
tekanan di lingkungan rumah atau di sekolahnya, mungkin karena mengalami
perundungan, hasil ujian yang rendah, atau tidak bisa mengikuti gaya hidup
temannya. Orang tua diharapkan tidak menyalahkan anak atau menyepelekan masalah
yang dihadapi tetapi memberi semangat.
10. Jangan
mengungkit-ungkit perilaku negatif di masa lalu
Semua orang pernah berlaku salah,
termasuk anak kita. Ketika itu terjadi ada perasaan bersalah, malu, dan ingin
orang lain tidak tahu. Jika orang tua mengungkit-ungkit perila- ku yang salah
itu, tidak mustahil anak merasa tidak nyaman karena diingatkan atas sesuatu
yang ingin dia lupakan dan tinggalkan. ungkit perilaku yang salah itu, tidak
mustahil anak merasa tidak nyaman karena diingatkan atas sesuatu yang ingin dia
lupakan dan tinggalkan.
Bagaimana cara menumbuhkan
disiplin pada diri anak?
Keluarga
memerlukan aturan dan batasan yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan untuk kepentingan bersama. Sangat penting untuk melibatkan anak dalam
menentukan aturan itu. Untuk itu diperlukan kesepatakan bersama. Kesepakatan
bersama yang dipraktikkan akan mendorong anak terbiasa melakukan kegiatan
sehari-hari dengan baik dan teratur. Ini menjadi modal penting dalam
menumbuhkan disiplin positif.
Berikut adalah beberapa tips
pembuatan kesepakatan bersama.
1. Aturan
dan kesepakatan bersama yang dibuat sedapat mungkin berlaku untuk semua anggota
keluarga.
2. Aturan
dibuat singkat, mudah dimengerti, dan diingat oleh semua anggota keluarga.
3. Aturan
dibuat tertulis dan ditempelkan pada dinding yang dapat dilihat oleh semua
anggota keluarga.
4. Setelah
beberapa waktu, aturan bisa dilihat bersama untuk dinilai apakah perlu diganti
atau diperbaiki.
5. Semua
anggota keluarga melaksanakan kesepakatan secara terus-menerus dan terapkan konsekuensi yang tepat saat ada pelanggaran.
Pengasuhan
yang diberikan orang tua kepada anak memberikan dampak yang sangat besar pada
anak, baik saat ini maupun di masa depannya. Oleh karena itu, pemberian
pengasuhan yang positif sangat penting untuk diterapkan oleh orang tua.
Video Pengasuhan Positif :
Sumber : Modul Pengasuhan Positif. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pengasuhan Positif
PENGASUHAN POSITIF Pengertian Pengasuhan Positif Pengasuhan positif merupakan pengasuhan yang berdasarkan kasih sayang, salin...
Wikipedia
Hasil penelusuran